DPM UIJ Lebih Takut Ribet daripada Gagal Menjaga Demokrasi
Pemira Universitas Islam Jember (UIJ) sudah di ambang waktu, tapi Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) UIJ masih seperti sedang tidur siang panjang. Tidak ada pengumuman, tidak ada sosialisasi, bahkan tidak ada tanda-tanda bahwa mereka sadar Pemira adalah tanggung jawab mereka. Ini bukan sekadar kelalaian administratif ini adalah bentuk nyata dari pembiaran terhadap hak politik mahasiswa. Demokrasi kampus yang seharusnya dijaga justru dibiarkan membusuk dalam diam.
Yang lebih menyakitkan, kabarnya Ketua DPM sudah dipanggil oleh Kemhas untuk membahas teknis Pemira. Tapi apa yang terjadi? Bukannya segera merespons, sang ketua justru mengulur-ulur waktu, seolah-olah panggilan itu hanya angin lalu. Ini bukan sikap seorang pemimpin, ini sikap seseorang yang tidak siap memikul tanggung jawab. Kalau takut ribet, kenapa dulu maju?
Ketidakjelasan ini menimbulkan efek domino. BEM, UKM, dan seluruh elemen mahasiswa jadi bingung harus bersikap seperti apa. Apakah Pemira akan tetap berjalan? Apakah ada timeline? Apakah ada panitia? Semua pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban. Ketika DPM diam, seluruh sistem ikut lumpuh. Dan yang paling dirugikan adalah mahasiswa yang hak suaranya terancam tak terpakai.
Lebih jauh, muncul dugaan bahwa ketidakpedulian ini adalah buntut dari konflik internal. Setelah BEM FH melayangkan surat somasi kepada DPM, dan DPM membalas dengan surat pemanggilan klarifikasi, suasana antar-lembaga menjadi panas. Tapi alih-alih menyelesaikan secara dewasa, DPM justru makin pasif. Seolah-olah mereka lebih sibuk menjaga ego daripada menjaga demokrasi.
Kepengurusan DPM saat ini tampak seperti tidak tahu-menahu soal demokrasi kampus. Mereka seperti orang yang duduk di kursi penting tapi tidak tahu harus ngapain. Padahal, mereka dipilih bukan untuk jadi penonton, apalagi jadi penghalang. Mereka seharusnya jadi penggerak utama, bukan justru jadi alasan utama Pemira gagal.
Akibat dari semua ini, mahasiswa mulai apatis. Mereka kehilangan kepercayaan pada sistem. “Ngapain milih, toh ujung-ujungnya gak jalan juga,” begitu kira-kira suara yang mulai terdengar di lorong-lorong kampus. Ini bahaya. Ketika mahasiswa kehilangan kepercayaan pada demokrasi kampus, maka yang tumbuh bukan partisipasi, tapi ketidakpedulian massal.
Lebih parah lagi, ketidaksiapan ini bisa membuka ruang bagi manipulasi. Tanpa transparansi dan mekanisme yang jelas, siapa yang bisa menjamin Pemira nanti tidak akan diatur oleh segelintir orang? Demokrasi tanpa pengawasan adalah ladang subur bagi kepentingan pribadi. Dan DPM, dengan diamnya, sedang memberi karpet merah untuk itu terjadi.
DPM harus sadar: mereka bukan hanya sedang malas bekerja, mereka sedang merusak fondasi demokrasi kampus. Mereka sedang menciptakan preseden buruk bahwa Pemira bisa ditunda, diabaikan, bahkan dibatalkan tanpa konsekuensi. Ini bukan sekadar kegagalan teknis, ini adalah pengkhianatan terhadap amanah mahasiswa.
Jika DPM UIJ masih punya sedikit rasa tanggung jawab, maka mereka harus bergerak sekarang juga.
Bukan besok, bukan nanti. Kalau tidak, maka mahasiswa berhak untuk bersuara lebih keras, bahkan menuntut pertanggungjawaban. Karena demokrasi kampus bukan milik DPM ia milik seluruh mahasiswa. Dan jika DPM tak sanggup menjaganya, maka sudah saatnya kita pertanyakan: untuk apa mereka ada?
Penulis : Dimas Aji Pangestu Sultan Abdi Negara (Ketua Bem Fakultas Hukum UIJ)
Ilustrasi : AI
Post a Comment