Ads

Rektorat dan Bidang Kemahasiswaan Universitas Islam Jember: Nekropsi Otonomi Mahasiswa, Dekadensi Administratif, dan Patologi Kepemimpinan yang Mematikan Nalar Kampus


 

Universitas Islam Jember (UIJ) kini berdiri di ambang sebuah ironi tragis, di mana institusi yang seharusnya menjadi benteng nalar dan keadilan justru mempertontonkan patologi administratif yang mengancam eksistensi otonomi mahasiswanya. Menjelang Pemilihan Raya (Pemira) 2025, bayang-bayang "dekrit hantu" sebuah Peraturan Rektor Nomor: 02/R.07-034/P/II/2023 yang tidak pernah dipublikasikan secara resmi. Bukan sekadar ancaman prosedural, melainkan sebuah manifestasi vulgar dari dekadensi tata kelola yang sistemik. Ini adalah epitaf yang diukir oleh tangan-tangan yang seharusnya melindungi, bukan mencekik, kebebasan akademik dan partisipasi mahasiswa.

Narasi tentang "pemotongan angkatan" yang akan diterapkan, dengan dalih merujuk pada regulasi yang keberadaannya pun dipertanyakan, adalah sebuah anomali yang tidak dapat ditoleransi dalam tradisi akademik. Bagaimana mungkin sebuah otoritas universitas memberlakukan sebuah lex non scripta, sebuah hukum tak tertulis yang hanya eksis dalam bisikan koridor kekuasaan, untuk membatasi hak konstitusional mahasiswa dalam berorganisasi? Ketiadaan publikasi dan sosialisasi yang transparan bukan hanya melanggar prinsip due process dan akuntabilitas, tetapi juga secara fundamental meruntuhkan legitimasi moral dan hukum dari setiap kebijakan yang dihasilkan. Ini adalah preseden berbahaya yang mengubah kampus menjadi arena arbitrasi kekuasaan, bukan diskursus intelektual.

Lebih mencengangkan lagi adalah dualisme regulasi yang akut dan inkonsisten. Keberadaan Peraturan Rektor Nomor: 087/R.07-034/SK/VII/2020, yang secara eksplisit membatasi kepemimpinan organisasi mahasiswa hingga semester 5, namun secara paradoks tidak pernah diterapkan secara konsisten di masa lalu, kini menjadi sebuah artefak ironis. Pertanyaan yang harus diajukan, dengan nada sinis namun akademis, adalah: apakah Rektorat dan Bidang Kemahasiswaan UIJ menderita amnesia selektif, di mana regulasi hanya diaktifkan ketika ia melayani agenda kontrol tertentu, dan diabaikan ketika ia menuntut konsistensi? Inkonsistensi semacam ini bukan hanya menunjukkan ketidakprofesionalan, melainkan sebuah indikasi kuat adanya mala fide, niat buruk yang terselubung di balik retorika regulasi. Ini adalah manipulasi hukum yang merusak integritas institusi.

Secara terang-terangan, fenomena ini adalah cerminan paling gamblang dari ketidakpahaman fundamental Rektorat dan Bidang Kemahasiswaan UIJ terhadap prinsip-prinsip dasar pembentukan peraturan perundang-undangan, apalagi di lingkungan pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi mercusuar hukum. Mereka tidak hanya gagal dalam menginternalisasi rechtsstaat dalam skala mikro universitas, tetapi juga mempertontonkan cacat administrasi yang parah dan sistemik. Ketidakmampuan untuk menyusun regulasi yang koheren, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, mengindikasikan defisit kompetensi manajerial yang akut dan patologi kepemimpinan yang mengakar. Ini bukan sekadar kesalahan prosedural, ini adalah kegagalan epistemologis dalam memahami esensi tata kelola yang baik, sebuah aib bagi sebuah institusi yang mengklaim sebagai pusat pendidikan dan pencerahan.

Maka, jika kualitas sumber daya manusia yang menduduki posisi strategis di Rektorat dan Bidang Kemahasiswaan UIJ beroperasi dengan standar tata kelola yang sedemikian rendah  ditandai dengan ketidaktransparanan, inkonsistensi regulasi, dan dualisme yang membingungkan, sungguh merupakan sebuah kemunafikan intelektual untuk menuntut keunggulan dari mahasiswanya. Bagaimana mungkin mahasiswa didorong untuk berpikir kritis, berinovasi, dan menjunjung tinggi integritas akademik, jika para pemimpin mereka sendiri gagal dalam menerapkan prinsip-prinsip dasar administrasi yang baik dan etika kepemimpinan? Ini adalah ironi yang menyedihkan, sebuah paradoks yang merusak fondasi moral dan intelektual universitas.

Jika kondisi ini tidak segera diperbaiki melalui reformasi radikal yang mengedepankan transparansi, partisipasi, dan penegakan hukum yang konsisten, maka UIJ tidak hanya akan mengukir epitaf bagi otonomi mahasiswanya. Lebih dari itu, ia akan mengubur reputasi akademiknya sendiri, mereduksi dirinya menjadi sebuah institusi yang tidak relevan, dan kehilangan hak moralnya untuk disebut sebagai "universitas" dalam makna sesungguhnya. Otonomi mahasiswa bukan sekadar hak, melainkan denyut nadi intelektual yang esensial; membelenggunya berarti mematikan nalar kampus itu sendiri.




Penulis : Dimas Aji Pangestu Sultan Abdi Negara (Ketua Bem Fakultas Hukum UIJ) 

Ilustrasi : AI


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.