Ads

Jokowi Sangat Mudah Menggulingkan Lawan Politiknya

Di awalinya dengan paman Anwar Usman dan anak dari Presiden Joko Widodo, yaitu Gibran Rakabuming Raka yang telah lolos menjadi cawapres melalui putusan 90, yang mana putusan tersebut melalui Anwar alias paman Usman terbukti bersalah. Anwar Usman terbukti dengan sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses pengambilan putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, sehingga melanggar sapta karsa utama, prinsip indepedensi, penerapan angka satu, dua, dan tiga. Mahkamah Konstitusi yang rakyat harapkan selama ini menjadi akhir dari penegak keadilan, telah lama hilang dengan era dan gempuran politik Jokowi yang sangat rapi.

Dimulainya juga di era jokowi, orang berpendidikan sangatlah rendah. Bahkan jumlah yang tidak sekolah melebihi dari banyaknya yang tamat sekolah dasar (SD) sebanyak 23,61% dibandingkan dengan yang tamat SD sebesar 23,4%. Bahkan Word Bank (Bank Dunia) menyebutkan bahwa kualitas  pendidikan di Indonesia masih sangat rendah.

Indonesia sendiri ingin membenahi pendidikan sejak 15 tahun silam, dan pendidikan untuk masyarakat dianggap sudah meningkat dengan sangat signifikan. Namun nyatanya, tidak banyak dari masyarakat Indonesia yang berpendidikan. Ketika pendidikan yang berada di masyarakat semakin rendah, pemerintah atau bahkan presiden akan mudah untuk memanipulasinya. Rakyat dalam situasi penuh ambiguitas tetap memilihnya sebagai penerus demokrasi, meskipun dalam gerbang demokrasi yang cacat.

Ketika kita memulai menyamakan pemilu Indonesia dan pemilu AS Negeri Paman Sam, akan ditemukanlah yang dinamakan dengan politik gentong babi. Dalam buku Politik Tanpa Korupsi (2021) oleh Herdiansyah, sejarah politik gentong babi tidak dapat dipisahkan dari sejarah kelam Negeri Paman Sam tersebut. Di sana, politik mengacu pada pengeluaran politisi untuk kepentingan konstituennya. Hal itu dilakukan sebagai bentuk balas jasa atau imbalan atas dukungan politik dalam kampanye dan pemungutan suara. Sebenarnya pada istilah gentong babi sendiri, merujuk pada gentong yang didalamnya berupa babi yang diawetkan.

Secara terminologi, gentong babi pertama kali digunakan oleh John Farejhon, untuk mengungkap kasus atau fenomena serupa di lembaga kongres Amerika Serikat. Walaupun realisasi politik gentong babi ini ada, politik tersebut mencederai sistem demokrasi, dengan menguntungkan orang sepihak. Politik gentong babi memang terkenal dilakukan pada lembaga legeslatif, tetapi penerapan di Indonesia dilakukan oleh lembaga eksekutif. Bahkan pemimpin negara yang seharusnya membawa negaranya pada kemakmuran rakyat, malah sebaliknya dengan membodohi rakyatnya sendiri. Jika dikomparasikan ataupun disamakan dengan adanya BLT beserta bansos dan politik gentong babi ini sangat tidak jauh berbeda, hanya saja politik gentong babi berupa bahan makanan saja  sedangkan BLT berupa uang tunai.

Sri mulyani sebagai mentri keuangan mengatakan alokasi dana bantuan sosial (bansos) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai Rp 496,8 triliun, hampir menyentuh angka 500 T. Jumlah itu semakin naik dari 2023, dan yang pada mestinya APBN yang dialokasikan untuk bansos hanya sebesar Rp 11,25 triliun. Jika ditarik kembali kebelakang, di era Susilo Bambang Yudhoyono sangatlah jauh bantuan alokasi dana bansos kepada masyarakat daripada era Jokowi. Di era SBY hanya sebanyak 17,1% Triliun terealisasi dari 6,4% pembelanjaan pemerintah pusat.

Pada mulanya bantuan tersebut berefektifitas untuk bantuan sosial, bukan memanjakan rakyat yang terus di iming imingi dan harus mengemis pada negara akan bantuan sosial. Dilihat dari ketika Joko Widodo mencalon sebagai gubernur DKI pernah mengkritik cara pemerintah pusat memanjakan rakyat dengan bantuan sosial dalam bentuk tunai, menurut jokowi pada waktu itu adalah perilaku yang tidak mendidik masyarakat untuk mandiri.

Lonjakan bansos pada era Jokowi terus berlanjut, ia tidak memanjakan masyarakat hanya berlaku 2 tahun sejak di lantik pada 2014. Jokowi yang dulu menolak mentah-mentah jenis bantuan tunai, sekarang seolah terbuai. Bantuan yang dikucurkan bahkan lebih besar daripada yang dikritik pada masa SBY. Bantuan sosial seharusnya lebih dikombinasikan dengan beragam program lain termasuk didalamnya program penciptaan lapangan kerja.

Namun besarnya anggaran alokasi bansos menjelang pilpres 2024 memudar dari khittahnya bahwa diperuntukkan sebagai bantalan sosial karena tekanan ekonomi. Dalam hal ini politik tidak terelakkan, apalagi anak presiden ikut berkontestasi dalam ajang pilpres sebagai cawapres 2024. Bukankah ada adagium hukum mengatakan, politi legius non leges politi adoptande, itu sudah tidak berlaku, hukum bahkan sudah tunduk pada kekuasaan.

Lain lagi ketika upaya rekonsiliasi pada 2019 yang mana Jokowi menarik Prabowo sebagai Menhan (Menteri Pertahanan) pada tanggal 23 oktober 2019 dalam kabinet maju masa jabatan 2019-2024, upaya ini tidak lain tidak bukan dengan tujuan Jokowi pada 2024 mencalonkan anaknya sebagai calon wakil presiden pada 2024. Bagaimana Jokowi menarik lawan agar tidak terjadi oposisi dan mendukung infrastrukturnya hingga selesai. Ia merangkul lawan dengan politik dtante yaitu tidak keluar dari partai asal PDI-Perjuangan, dan menarik lawan agar berkoalisi, lalu anaknya disodorkan menjadi politisi. Itulah politik represif developmentalisme yang dilakukan oleh Jokowi pada pembangunan dunia ke 3.

Sangatlah miris ketika neoliberalisme di dalam kabinet Jokowi, kepentingan rakyat sudah dikesampingkan, dan lebih mementingkan kepentingan pribadi dan keluarga sendiri. Pada 20/3/2022 di Brebes seorang ibu tega menggorok leher ketiga anaknya karena tidak bisa membelikan bahan pangan untuk mereka. Pada kesimpulannya, ketika seorang tak bisa memimpin suatu Negara dengan baik, maka kehancuran Negara dan rendahnya pendidikan akan segera datang. 


Nama: M. Mulabbil bait (Gubernur Fakultas Hukum UIJ)

Editor: Linda Nurul Hidayah

Design: Feroz Anugrah

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.