Ads

Keteduhan Yang Palsu di Bangku Kuliah

 


By, Imam



Kampus itu dijuluki Kampus Beringin. Tidak hanya karena pepohonan beringinnya yang meneduhkan, tetapi juga karena harapan-harapan yang tumbuh di dalamnya. Harapan mahasiswa dari berbagai penjuru daerah untuk menuntut ilmu, meraih cita-cita, dan menjadi manusia yang berguna. Salah satu di antara mereka adalah Raka mahasiswa semester dua yang diamanahi sebagai ketua kelas.

Raka tidak pernah meminta jabatan itu. Tapi teman-temannya percaya padanya. Ia dikenal santun, tanggap, dan bertanggung jawab. Ia menerima amanah itu dengan hati lapang. Bagi Raka, kuliah adalah tentang belajar dan bertumbuh menjadi manusia utuh.

Namun, di balik keindahan kampus, ada satu sudut yang kelam ruang kelas yang jadwalnya diampu oleh salah satu dosen yang, entah kenapa, lebih sering membawa awan mendung dibandingkan cahaya ilmu.

Namanya Bu Ulul. Sikapnya sinis, mudah tersinggung, dan sering mempermainkan jadwal. Mahasiswa dibuat kebingungan karena tidak ada kepastian kapan beliau hadir. Kadang datang sangat terlambat, kadang tidak muncul sama sekali. Satu waktu, mahasiswa sudah menunggu satu jam lebih di ruang kelas tak ada kabar. Ketika mereka pulang, Bu Ulul  justru muncul dan berkata, “Saya sudah di kampus, kalian yang gak niat belajar!”

Satu insiden menjadi puncaknya.

UTS telah diselenggarakan. Raka dan teman-temannya telah mengerjakan tugas UTS yang harus dikumpulkan secara kolektif. Bu Ulul meminta semua tugas itu dikumpulkan ke kantor Tarbiyah, dan itu dilakukan. Semua mahasiswa patuh.

Seminggu berlalu. Bu Ulul muncul di kelas dengan wajah yang lebih gelap dari biasanya.

“Tugas kalian hilang!” katanya sambil menatap tajam ke arah Raka. “Kamu yang tanggung jawab! Satu kelas tidak akan saya beri nilai UTS!”

Seketika, kelas hening. Wajah-wajah mahasiswa memucat, bukan karena takut, tapi karena marah dan kecewa.

“Ketua kelas tidak becus!” hardik Bu Ulul, seolah lupa betapa banyak tugas dan waktu yang Raka korbankan demi mengurus urusan kelas.

Kemarahan merambat ke dinding-dinding emosi mahasiswa. Mereka merasa tidak dihargai. Betapa tidak  selama ini mereka bersabar dengan jadwal yang selalu berubah, kehadiran yang tidak pasti, sikap yang sinis, dan komunikasi yang tidak manusiawi. Tapi ketika mereka, satu kali saja, tidak berada di kelas saat jam beliau tanpa ada kabar justru itu dijadikan alasan untuk menyalahkan mereka sekelas.

Raka menerima telepon dari Bu Ulul tapi saat itu, ia memilih tidak mengangkatnya. Bukan karena tidak hormat, tapi karena sedang berjuang menenangkan hatinya yang perih. Ketika seseorang sudah mencoba menjadi sabar tapi terus diinjak, kadang diam menjadi satu-satunya bahasa.

Masalah ini akhirnya sampai ke Kepala Prodi.

Namun harapan akan keadilan hancur di meja ruangan itu.

“Kamu baru dikritik begini saja sudah lelah?” kata Kepala Prodi pada Raka. “Kamu ini sedang dipersiapkan untuk dunia kerja! Harusnya kamu kuat!”

Raka hanya menunduk. Ia ingin menjawab, “Bagaimana bisa kami dipersiapkan menjadi pendidik yang baik kalau yang mendidik kami bahkan tidak memberi teladan yang benar?” Tapi kalimat itu hanya bergema di dadanya, tak mampu keluar karena ruangnya telah dibekukan oleh struktur dan kekuasaan.

Hari itu, Raka dan teman-temannya sadar. Bukan gelar akademik yang menjamin seseorang menjadi pendidik sejati. Tapi integritas, empati, dan profesionalitas.

Dan kampus, tidak akan pernah benar-benar berkualitas, jika akar pendidikannya sendiri telah lapuk oleh arogansi.





Penulis             : Mochamad Imam Sugianto
Sumber Foto    : Pinterest

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.