Ads

Hujan

Ilustrator: Yordan Vito Zafiro


Keluarga

Langit bergemuruh serta kilat menyambar. Hujan dengan derasnya mengguyur kota. Seorang bocah lima tahun tengah berjalan seorang diri, keluar dari kamarnya. Jam di dinding ruang tengah menunjukkan pukul satu malam. Matanya masih menyipit karena mengantuk. Ia merasa sakit di bagian kepalanya hingga membuatnya tak bisa tidur. Kaki kecil itu  melangkah menuju kamar orang tua yang pintunya terlihat sedikit terbuka. Bocah itu mendengar sesuatu yang ribut dari kamar tersebut. Matanya seakan-akan mengeluarkan cairan bening begitu mendengar ayah dan ibunya berdebat.

“hentikan, jangan bicara lagi. Aku muak!” suara ayahnya yang berat meninggi, mengalahkan suara hujan dan gemuruh petir di luar sana. Sementara ibunya tengah menangis di lantai. “Kau akan tinggal bersama Reyhan. Aku akan pergi dari rumah ini sebelum Reyhan bangun,” lanjut sang ayah. Ibunya hanya diam.

Reyhan hanya bisa menatap punggung orang tuanya. Ia tak mengerti apa yang sedang terjadi. Telinganya juga menangkap ayahnya berbicara lagi,

“Aku akan mengirimkan surat cerai akhir bulan ini.”

Lagi-lagi, ibu hanya diam tak berkomentar apa-apa.

 

Ayah terlihat memasukkan pakaian-pakaiannya ke dalam koper dan mengambil semua barang miliknya. Ia segera meninggalkan ibu yang masih menangis. Bahkan, ayah yang melihat Reyhan berdiri di depan pintu pun terlihat tak peduli dan melewatinya begitu saja setelah mengusap pucuk kepalanya.

 

Reyhan hanya menatap kepergian ayahnya hingga punggung yang menjadi tempatnya bermain itu hilang di balik tembok. Ia melihat ibunya menatap ke arahnya dengan air mata yang mengucur deras, langkah kakinya menuntun menuju sang ibu dan memeluknya Kepalanya masih sakit.Namun, ia tak mengatakan karena melihat ibu menangis.

“ibu, ayah mau pergi ke mana?”

Ibu tak menjawabnya, hanya memeluk tubuh Reyhan yang kecil.

 

Harapan yang Terbesit

“Reyhan, nanti ibu akan pergi ke rumah bibi Luna. Papa akan datang sebentar lagi,” kata ibu sambil merogoh tasnya, mengecek apakah ada barang yang tertinggal atau tidak.

Reyhan hanya mengangguk menatap punggung ibunya yang kemudian hilang di balik pintu.

 

Reyhan kini telah berusia tujuh tahun. Setahun setelah orang tuanya bercerai, ibu menikah lagi dengan seorang pria yang bekerja sebagai pegawai swasta. Reyhan memang merindukan sosok ayah. Saat ibunya menikah, Reyhan merasa senang karena ia kembali memiliki seorang ayah. Dia memanggil ayah barunya dengan sebutan papa. Di undangan pernikahan ibu dan papanya, ia membaca tulisan Diana dan Andre. Jadi dia tahu, nama papanya adalah papa Andre.

 

Reyhan termasuk anak yang cerdas. Sekarang dia kelas dua di Sekolah Dasar pada usianya yang ke tujuh tahun. Ia tumbuh menjadi seorang anak periang dan ramah pada orang lain.

“Rey?” suara seorang laki-laki yang tak asing baginya terdengar. Laki-laki bertubuh besar itu baru saja menutup pintu dan meletakkan sepasang sepatu di tangannya pada rak sepatu di dekat pintu.

Rey melemparkan senyum, menghampiri papa yang merentangkan kedua tangan untuk memeluknya.

“papa, Rey sudah menyelesaikan Tugas Rumah dari Bu guru,” kata anak bermata bulat itu.

Papa tersenyum sambil mengacak rambut anak di depannya. Ia merogoh saku, mengeluarkan selembar uang kertas berwarna hijau dan memberikannya pada Reyhan.

“Terima kasih, Pa,” ucap Rey, menerima uang dari Papa.

Sementara Rey memasukkan uangnya ke dalam saku, Papa mencondongkan pipinya. Seolah meminta Rey untuk menciumnya.

Melihat hal itu, Rey menurut saja. Di ciumlah pipi kanan Papa, kemudian tersenyum.

“Papa mau mandi dulu. Nanti kita pergi main, ya?” kata Papa sambil berdiri dan melangkahkan kaki meninggalkan Rey, menuju kamar.

Sementara Reyhan berlarian ke dalam kamarnya dan menutup pintu. Ia merendahkan tubuh, menengok ke bawah ranjang tidur dan mengambil sebuah kaleng bekas camilan berbentuk lingkaran berwarna biru. Bocah tujuh tahun itu membuka  kaleng yang tertutup rapat menggunakan tangannya yang mungil. Wajah bulat itu tampak bersemangat melihat banyaknya uang yang telah ia kumpulkan. Kemudian tangannya mengeluarkan uang yang tadi di berikan Papa Andre dari dalam saku, lalu meletakkannya bersama dengan uang lain yang telah terkumpul. Di dalam kaleng itu, terdapat beberapa lembar uang berwarna merah dan biru. Ia mendapatkannya dari Papa ketika ulang tahunnya yang ke tujuh tahun. Saat Papa menanyakan ingin hadiah ulang tahun apa, Rey mengatakan tidak ingin hadiah. Tapi ia meminta uang.

“kenapa tidak minta mainan?” tanya papa saat itu.

“Rey akan memasukkan uangnya ke dalam tempat rahasia. Suatu hari nanti, Rey ingin membeli sesuatu dengan uang itu. Tapi Papa harus janji tidak akan memberitahu ibu,” jawab Reyhan dengan lugunya.

Papa tersenyum. Ia mencoba memahami anaknya. Rey kurang terbuka pada sang ibu sejak orang tua kandungnya bercerai. Mungkin Rey takut mengganggu dan membuat ibunya merasa tak nyaman.

Sejak saat itu, Papa lumayan sering memberinya uang. Meskipun Rey tidak meminta, Papa akan memberinya meskipun hanya uang kecil ataupun recehan.

 

...

Di sebuah ruangan bercat putih, seorang wanita tengah duduk menggenggam tangan anaknya yang baru berusia delapan tahun. Tangan anak yang dulu selalu menghadiahkan kertas ulangan dengan nilai tinggi, anak laki-laki yang menyambut dirinya dengan senyum cerah tiap kali pulang bekerja, dan anak laki-laki yang belajar mandiri tanpa menyusahkan orang tua.

Ia menatap wajah pucat anak yang tengah tertidur pulas di ranjang. Sebuah selang yang terhubung ke saluran pernapasan menghalangi wajahnya yang mungil dan tampan.

Sudah beberapa minggu anaknya menghabiskan waktu di rumah sakit. Tak ada yang menyangka bahwa putra satu-satunya akan terkena penyakit leukemia. Reyhan tak pernah mengatakan saat sedang kesakitan. Reyhan tak pernah mengatakan jika sering kelelahan. Yang ia tahu, kulit anaknya termasuk kulit yang sensitif karena mudah memar dan infeksi. Ia tak pernah menyangka bahwa penyakit yang di derita ibu dari mantan suaminya akan menurun pada Reyhan.

“Diana...,” suara Andre menyapa telinga.

Diana menoleh ke sumber suara. Suaminya baru saja masuk ke kamar rawat Pakaiannya masih rapi. Andre tak pulang ke rumah, tapi langsung ke rumah sakit setelah bekerja.

“kamu harus pulang dan beristirahat. Ingat, kesehatan dan kandunganmu juga harus di perhatikan,” ucap Andre sambil menyentuh pundaknya. Matanya menyoroti perut Diana yang buncit. “aku yang akan menjaga Reyhan. Pulanglah, ibu dan ayah ada di rumah,” lanjutnya.

Diana menghela nafas panjang. Ia tak berkata apa-apa, hanya menatap wajah Reyhan dengan tatapan sendu. Sekali lagi, ia menghela nafas.

“padahal tadi sebelum tidur, Rey ingin aku menemaninya sampai dia terbangun,” ucap Diana. Kedua matanya tampak lelah.

“Aku akan mengantarmu sampai rumah,” Andre menuntun istrinya ke luar ruangan.

...

Matanya terbuka perlahan. Ia memandang sekeliling. Pandangan terasa kabur, sepertinya ada Papa yang duduk di sebelah ranjang. Saat pandangan matanya mulai jelas, ia bisa melihat Papa sedang membaca buku.

“pa..., “ panggil Rey.

Andre meletakkan buku bacaannya dan membantu Reyhan untuk duduk.

“Rey mau makan? “ Tanya Andre, menawarkan.

Anak laki-lakinya itu menggeleng. Sebuah senyum terbit di bibir Reyhan. “Papa, tadi Rey mimpi bermain di taman. Mimpinya seru! “ wajah Rey tampak sedih. Hal itu membuat Andre penasaran.

“Terus, kenapa Rey kelihatan sedih? “

“di mimpi itu, ibu sama papa kelihatan ga senang. Padahal Rey main di taman, di jaga ibu sama papa juga,“ bocah itu menundukkan kepalanya.

“Kalau Rey senang, ibu sama papa pasti juga senang, “ hibur Andre. Tangannya mengusap pucuk kepala putra satu-satunya itu.

“Rey pengen cepat punya adik, pa, “ucap Reyhan, tiba-tiba. Mendengar hal itu, Andre kembali tersenyum.

“Iya... Sebentar lagi adik Rey akan lahir. Jadi nanti, Rey bisa main sama adik. “

Entah mengapa, Reyhan hanya diam. Wajahnya tampak ragu. Beberapa detik kemudian, ia menatap Andre sambil memegangi tangannya yang lebih besar.

“Papa..., “ lirihnya.

Andre hanya mencoba terus tersenyum sambil mengusap pucuk kepala putranya.

“Rey... Rey akan segera meninggal, kan?“ sebutir air mata turun dari balik kelopak matanya. Bola mata bulat itu menatap Andre yang tercengang mendengar pertanyaan itu.

“papaa... Reyhan sudah hampir meninggal, kan?“ suara itu seakan menusuk hati. Siapa yang tega melihat anak sekecil ini berbicara tentang kematian?

Andre mengusap air mata di pipi anaknya. Hatinya terasa tercabik-cabik mendengar ucapan Reyhan.

“Nggak, sayang. Kenapa Rey berpikir seperti itu? “ ia mencoba menenangkan anak laki-lakinya meskipun suara berat yang muncul dari mulutnya terdengar sedikit bergetar.

Anak di depannya hanya diam tak bersuara, wajahnya tampak sedang memikirkan sesuatu tiga detik kemudian, Rey bersuara,

“Papaa... Rey mau minta tolong, boleh? “

“boleh,” jawab Andre tanpa berpikir panjang. “Apapun itu, akan papa lakukan buat kamu,” Lanjutnya. Bagaimanapun, ia sangat menyayangi Reyhan seperti anak kandung sendiri. Ia juga tak akan membeda-bedakan Reyhan dengan anak kandungnya jika telah lahir.

“Di rumah, di bawah ranjang tidur Reyhan, ada kaleng Oreo. Bentuknya lingkaran. Di dalam sana ada uang yang Reyhan kumpulkan, “ kata bocah itu sambil menangis.

Andre semakin merasa sakit mengingat anaknya mengumpulkan uang. Entah untuk keperluan apa.

“ulang tahun ibu sudah dekat, Pa... Belikan ibu hadiah yang bagus menggunakan uang itu... Pilihkan hadiah yang paling bagus, “ air mata senantiasa membasahi wajah Reyhan

Suatu hari nanti, Rey ingin membeli sesuatu dengan uang itu,”

Kalimat Rey tahun lalu terngiang begitu saja di telinganya.

“Kita bisa membeli hadiah untuk ibu bersama-sama. Rey boleh memilih apapun yang ingin Rey beli. Kita akan pergi bersama, ya?” ucap Andre. Ia berusaha untuk terlihat baik-baik saja di hadapan Rey. Ia tak ingin putranya terus merasa sedih.

“Bagaimana kalau Rey gak bisa, Pa? “ mata anak itu tampak khawatir. Khawatir ia tak akan bisa merayakan ulang tahun ibunya.

“papa akan berusaha. Rey pasti sembuh. Maka dari itu, anak Papa harus semangat. Rey kan kuat. Nanti kita pergi bersama-sama, ya? “

Entah mengapa, ada sebuah luka yang menganga di dalam sana. Sakit tapi ,agar anaknya tak melihat ia bersedih maka ia harus menyembunyikannya.

Reyhan hanya diam, tak berkomentar apa-apa. Ia tahu, waktunya di dunia tidaklah lama lagi. Kemarin ia mendengar papa berbicara dengan dokter bahwa tidak ada donor tulang sumsum belakang untuknya. Padahal itulah satu-satunya jalan untuk menyembuhkan penyakitnya. Apalagi tidak ada donor yang cocok sejauh ini.

Reyhan menatap papanya. Memandangi wajah laki-laki itu dengan lekat. Kedua sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman.

. . .

Harapan yang terbesit

Hujan mengguyur kota. Petir menyambar diantara langit yang tertutup awan tebal.

Seorang wanita sedang duduk di ruang tunggu dekat meja resepsionis. Matanya menyoroti orang-orang yang berlalu-lalang di balik jendela rumah sakit yang transparan.

Di saat hujan deras mengguyur, di saat orang-orang berlindung di bawah payung, dan saat mobil ambulans masuk ke pelataran rumah sakit, sebuah pikiran muncul di balik diamnya. Apakah tidak ada kecelakaan? Apakah tidak ada korban yang meninggal?

Saat orang lain di luar sana tidak ingin ada kecelakaan, malah ia berharap hari ini ada korban kecelakaan yang meninggal agar anaknya bisa mendapat donor tulang sumsum belakang yang cocok. Memang terdengar egois, tapi begitulah kenyataan. Di dunia ini tidak hanya Diana saja yang merasakan hal itu, tapi masih banyak orang yang menaruh harapan pada kejadian buruk yang menimpa orang lain.

Diana tidak ingin menjadi orang yang egois. Tapi jika hal itu sungguh terjadi dan anaknya bisa sembuh, siapa pun pasti akan merasa senang.

Beberapa perawat mendorong brankar dengan seorang pemuda berseragam SMA di atasnya. Tubuh anak itu bersimbah darah dengan mata yang tertutup. Diana melihatnya dengan tatapan ngeri. Mungkin remaja itu tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Namun hal yang ada di pikiran wanita itu bukanlah anaknya, Reyhan. Tapi keluarga yang akan ditinggalkan remaja SMA tadi. Bukankah seharusnya ia merasa senang? Ada peluang untuk anaknya bisa sembuh. Tapi ia segera melihat seorang pria paruh baya berjalan tergopoh-gopoh mengikuti brankar yang didorong petugas tadi. Sangat jelas bahwa pria kurus itu adalah ayahnya.

Diana beranjak dari duduknya dan segera pergi ke kamar Reyhan. Saat itu, perut buncitnya terasa mulas. Ia mulai mengalami kontraksi, pinggangnya terasa sangat nyeri dan sakit. Bayi di dalam rahim seakan akan memaksa untuk keluar untuk melihat dunia.

. . .

Andre baru pulang dari pekerjaannya. Ia baru saja ditelepon pihak rumah sakit bahwa istrinya segera melahirkan.

Wajah pria itu tampak pias. Jantungnya berpacu lebih cepat. Ia merasa senang karena akan segera menjadi seorang ayah sungguhan. Untungnya ia tiba di rumah sakit secepat mungkin dan menemani Diana yang tengah berjuang untuk melahirkan anak mereka.

Tangisan bayi segera memenuhi langit-langit ruang bersalin. Bayi mereka berjenis kelamin laki-laki. Seorang bayi tampan yang mirip dengan Reyhan telah hadir melengkapi keluarga mereka.

Andre segera mengadzani putranya dengan ,suara bergetar dan perasaan yang membuncah ia, bersyukur pada Tuhan yang telah menghadirkan seorang bayi pertama untuknya.

Pria itu segera melangkah menuju kamar Reyhan. Ia ingin mengajak putranya untuk melihat sangat adik.

“Rey?” Panggil Andre saat melihat anak itu tengah menulis sesuatu di selembar kertas.

Reyhan menoleh saat Andre mendekatinya.

“Adik Reyhan sudah lahir,” ucap Andre sambil tersenyum.

“oh, ya?!” Rey tampak sangat antusias. “apakah Rey boleh kasih nama buat adik, pa?” Lanjutnya masih dengan ekspresi yang sama.

Andre tersenyum hangat. Dari kemarin ia tahu bahwa Reyhan sibuk mencari nama untuk diberikan pada adiknya. Ia mengangguk sambil mengusap puncak kepala Reyhan.

Setelah itu, Andre mengajak Reyhan untuk melihat adiknya di ruang perinatologi. Antusias anak itu sangat jelas terlihat dari kedua bola matanya. Mereka melihat bayi-bayi mungil dari luar jendela yang transparan. Raut muka bahagia tak luntur dari mereka.

“Ali,” bisik Rey melihat adiknya.

Andre yang berdiri di belakang kursi roda Reyhan, mendengar nama itu lantas tersenyum. Nama yang simpel, tapi bagus. Selama ini dia juga tak menyiapkan nama untuk putranya. Apalagi dia dan Diana sibuk merawat Rey yang sedang sakit.

“papa, Rey ingin bertemu ibu,” kata Reyhan tanpa mengalihkan perhatian dari adiknya di dalam ruangan.

Andre menuruti permintaan Reyhan. Ia segera mendorong kursi roda anaknya ke ruang rawat Diana.

Diana ikut tersenyum melihat putranya yang melemparkan seulas senyum. Ia segera memeluk Reyhan.

“Reyhan sekarang sudah punya adik,” kata Diana,

“Ali,” Rey kembali menyebutkan sebuah nama yang sempat ia sebut tadi.

Diana tersenyum dan mengangguk. “Rey gak mau istirahat?” tanyanya.

Anak itu menggelengkan kepala, “nanti Rey mau istirahat, bu. Sekarang Rey masih mau sama ibu.”

. . .

Andre terbangun dari tidurnya. Ia melihat jam di dinding kamar pukul 02.35. Ia juga melihat beberapa orang dokter yang merawat Reyhan tampak sibuk di dekat brankar. Beberapa perawat juga terlihat mondar-mandir di depannya. Melihat situasi ini, ia segera bangkit dan mendekati mereka. Namun belum sampai tiga langkah, ia mendengar suara monitor di samping brankar berdecit. Ia mencoba memastikan dengan melihat layar yang biasanya memunculkan sandi rumput, kini hanya garis lurus yang tampak mengerikan. Ia segera paham saat dokter melirik jam dengan tatapan muram sambil berkata, “Diondra Syarief Ar-Reyhan, dinyatakan meninggal dunia pukul 02.35.”

Andre menatap dokter di depannya dengan tatapan tak percaya. Padahal kemarin siang, Reyhan masih melihat adiknya di ruang perinatologi. Reyhan masih menemui ibunya dan memberikan nama untuk adiknya.

Tubuhnya bergetar melihat perawat mulai melepaskan peralatan medis yang menempel pada tubuh Reyhan. Dokter yang melihatnya segera mendekat dan menepuk pundaknya,

“maaf, pak. Kami telah berusaha semaksimal mungkin. Semoga anda diberikan ketabahan oleh Tuhan,”

Andre hanya menundukkan kepala, memandangi tubuh kaku Reyhan yang kurus.

Sementara itu di pintu masuk, Diana menatap nanar pada tubuh putranya yang terbaring tak bernyawa di atas brankar. Ia juga menyaksikan dan mendengar apa yang dikatakan dokter, tadi. Tiga detik kemudian, tubuh wanita itu ambruk tak berdaya di lantai.

Orang-orang berkata; jika ada yang hadir, pasti akan ada yang pergi. Jika kau tak siap untuk kehilangan, maka jangan hadirkan dia dalam hidupmu.


Penulis: Linda Nurul Hidayah 

Editor: Tria Febriani 




Cerpen

Dipublikasikan pada : 18 Desember 2022

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.